Kajian Online : Hikmah Ramadhan 1444 H, Selasa (21/03/2023). |
Bulan Ramadlan bulan yang
ditunggu-tunggu umat Islam, gegap gempita kehadiranya disambut dengan berbagai
cara, mulai dari bersih-bersih rumah, lingkungan, mushalla-masjid, tasyakuran,
quotes di media-media sosial bahkan kajian-kajian penyambutan ramadlan terlaksana
dimana-mana.
“Euphoria”, kegembiraan
menyambut datangnya bulan ramadlan yang diungkapkan dengan berbagai cara itu merupakan
bagian dari pengungkapan rasa gembira menyambut tamu mulia, bulan Ramadlan. Dimana
didalamnya ada malam 1000 (seribu) bulan yang pahalanya dilipatgandakan, bahkan
Allah swt menghapus dosa-dosanya jika saat ia berpuasa di Bulan ramadlan yang
dilaksanakan dengan landasan iman dan mengharap pahala, sebagaimana Rasulullah
saw. Sabdakan :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan
mengharapkan pahala maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Kemuliaan bulan ramadlan, sungguh akan sia-sia jika
sejak awal belum menyiapkan diri, menata hati agar mampu mengambil manfaat dan
meningkatkan kualitas diri sehingga menjadi pribadi unggul berkah bulan
Ramadlan.
Puasa ramadlan, menjadi puasa
yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang dikhususkan pada orang-orang yang
beriman, sebagaimana firman Allah swt. Q.S. Al-Baqarah ayat 183 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
Artinya,
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat terdahulu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Merujuk dari ayat tersebut, bahwa
pelaksanaan ibadah puasa Ramadlan hukumnya adalah wajib, dimana sebelum turunya
ayat ini umat islam diwajibkan puasa 3 (tiga) hari yakni pada tanggal 8, 9 dan
10 Muharram, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Jarir dan Muadz bin Jabbal, tentang
asbabun nuzul surah al-Baqarah ayat 183.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa,
jika melihat makna lahiriah ayat ”kama kutiba ‘alal ladziina Minqoblikum, sebagaimana diwajibkan atas umat terdahulu” menunjukkan kewajibanya telah berlangsung
sejak zaman umat-umat terdahulu, bahkan Imam Al-Alusi menyebutkan sudah sejak
zaman nabi adam, yang kemudian diwajibkan pula pada umat Nasrani dan yahudi.
Imam Al-Alusi dalam kitab Ruhul
Ma’ani, [Beirut, Daru Ihyaut Turats Al-Arabi], juz II,
halaman 56 menjelaskan bahwa penyebutan “umat terdahulu” pada ayat di
atas merupakan penguat hukum, motivasi, sekaligus penyejuk bagi hati
orang-orang yang dititahkan berpuasa. Sebab ketika suatu perintah sulit
bersifat menyeluruh maka akan terasa nikmat.
Dari beberapa pendapat
ulama’ ahli tafsir tersebut tentang ayat diwajibkanya berpuasa, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan agar puasa yang dilaksanakan diterima oleh Allah
swt.
Pertama adanya niat, hadits
riwayat Imam ad-Daru Quthni (21/400) dari ‘Aisyiah ra:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Artinya :
“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar subuh, maka tidak ada puasa baginya.”
Para ‘ulama sepakat, bahwa niat merupakan rukun puasa.
Dengan kata lain, ibadah puasa jika tidak disertai niat, maka puasanya tidak
sah, dan tidak berpahala.
Kedua, Komitmen. Setelah seseorang berniat
melaksanakan puasa, maka meraka harus berkomitmen dengan niat yang sudah ditanamkan
dalam hati. Komitmen dalam menjalankan ibadah puasa adalah komitmen menjaga diri
dari hal-hal yang membatalkan puasa yang terkmaktub dalam definisinya, sebagaimana
pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manar, 1373 hal. 143 menjelaskan bahwa puasa
adalah
اْلإِمْسَاكُ عَنِ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَغَشَيَانِ النِّسَاءِ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى الْمَغْرِبِ إِحْتِسَاباً لِلَّهِ وَإِعْدَادًا لِلنَّفْسِ وَ تَهِـيِـيْئةً لَهاَ لِتَقْوَى اللهِ باِلْمُرَاقَبَةِ وَترْبِيَةِ
Artinya,
“Menahan diri dari makan, minum dan bersenggama,
mulai terbit fajar sampai terbenam matahari (Maghrib), karena mengharap
keridhaan Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah dengan jalan
muraqabah (merasa selalu diperhatikan Allah) disertai mendidik kehendak dan
keinginan”.
Ketiga, Integritas. Selain adanya niat dan komitmen,
hal yang perlu diperhatikan adalah integritas. Dibulan ramadlan, bulan yang
didalamnya Allah swt melipatgandakan pahala akan senantiasa dimanfaatkan secara
maksimal untuk melakukan berbagai amal sholih, tidak hanya berpuasa, sedekah,
tadarus, dan ibadah-ibadah sunnah lainya lebih ditingkatkan. Keterpaduan amal
sholih yang dilakukan inilah sejatinya akan menjadikan bulan Ramadlan akan
sangat bermakna dan insyaallah akan maksimal dalam meraih fadhilah (keutamaan)
ramadlan.
Niat, Komitmen dan Integritas jika sudah tertanam dalam
individu akan mampu merubah dirinya menjadi muslim yang lebih beriman, peribadi
unggul dan berwibawa karena hanya Allah
swt yang menjadi prioritas dalam kehidupan dan inilah sejatinya capaian tertinggi
beribadah Puasa, menjadi pribadi yang bertaqwa. Allahu A’lam.